Gambar-Gambar Mempesona

">

Sabtu, 22 Januari 2011

Islam Liberal versus Islam Literal

Intelektual dari mazhab Islam liberal dan postradisionalisme berdialog. Sebagian mereka menganggap Islam literal sebagai ancaman.


TEMA Islam liberal sedang mempesona sebagian kaum muda. Tati Wardi, 24 tahun, misalnya. Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Jakarta itu lahir dari keluarga dengan tradisi kultural Nahdlatul Ulama dan Masyumi. Kini gadis berjilbab itu melahap buku-buku Islam libe­ral, juga postradisionalisme Islam. Salah satu penyebab kecenderungan itu, dia tidak menyu­kai Islam garis keras. "Mereka cenderung merasa benar sendiri," kata Tati.

Tati hanya satu dari banyak kalangan muda yang tertarik pada paham Islam yang terbuka, pluralis, dan humanis. Dan ketertarikan itu menemukan jawabannya pada Islam liberal yang belakangan menjadi perhatian sebagian publik melalui penerbitan buku Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer ten­tang Isu-Isu Global karya sosiolog Charles Kurzman, pembukaan kios internet Jaringan Islam Liberal (www.Islamlib.com), dan bermacam diskusi.

Gairah itu tampak pula di seminar "Mendia­logkan Post-Tradisionalisme Islam dan Islam Liberal dalam Gairah Baru Pemikiran Islam di Indonesia", yang diselenggarakan mahasis­wa IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta, Rabu pekan lalu. Sekitar 500 orang mengikuti se­minar yang menghadirkan intelektual muda Islam seperti Ulil Abshar Abdalla, Saiful Mu­jani, Ahmad Sahal, Luthfi Assyaukani, Ahmad Baso, dan Rumadi itu.

Sebagian besar pembicara mencoba me­nangkap sosok yang disebut Islam liberal. Maklum, kata sifat liberal mengandung gradasi "keliberalan"-nya dan sejarah yang panjang. Menurut Charles Kurzman, Islam liberal ber­akar pada Syah Waliyullah (1703-1762) di India dan muncul di antara gerakan-gerakan pemurnian Islam ala Wahabi pada abad ke-18.

Bersama dengan berkembangnya Islam li­beral, muncul tokoh-tokohnya pada tiap za­man. Jamaluddin Alafghani di Afganistan, Sayyid Ahmad Khan di India, dan Muhammad Abduh di Mesir—ketiganya hidup pada abad ke-19. Adapun pada abad 20 terdapat antara lain Abdullah Ahmed Naim, Mohammad Arkoun, Fazlur Rahman, dan Fatima Mernissi. Nurcholish Madjid, cendekiawan Indonesia yang mengibarkan teologi inklusif, juga disebut

Istilah liberal, menurut Luthfi Assyaukani, dosen Universitas Paramadina Mulya, antara lain bermakna pembebasan dari cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan. Islam liberal, menu­rut Luthfi, tidak bisa dipertentangkan dengan Islam model lama semacam tradisionalis, revivalis, atau modern­is, juga dengan model baru seperti neomodernis dan posmodernis. Sebab, gagasan Islam liberal sesung­guhnya kombinasi unsur-unsur liberal yang ada dalam kelompok-­kelompok pemikiran modern itu.

Perhatian Islam liberal adalah pada hal-hal yang prinsip. "Islam liberal tak mengurusi jenggot atau pembagian tempat duduk khusus bagi wanita di bus kota," kata Ahmad Sahal mem­beri contoh. Adapun hal prinsip misalnya negara demokrasi, emansi­pasi wanita, dan kebebasan berpikir. Islam liberal bisa menerima bentuk negara sekuler, yang menurut Ulil Abshar Abdalla lebih unggul dari' negara ala kaum fundamentalis. "Sebab, negara sekuler bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus," kata Ulil, yang disambut ledakan tawa peserta diskusi.

Selain Islam liberal, sosok postradisionalisme Islam yang diperkenalkan cendekiawan Maroko, Muhammad Abed Al Jabir, juga diteropong. Karya Al Jabir dikumpulkan dan diterjemahkan Ahmad Baso, intelektual NU, dalam buku Post­tradisionalisme Islam. Kata pembicara seminar Rumadi, seperti Islam liberal, postradisional­isme bersemangat mengusung pemikiran li­beral, mendobrak ortodoksi, membebaskan diri dari keterkungkungan teks keagamaan, dan me­nerima sekularisasi. Bedanya, postradisionalisme menimba kearifan itu dari proses kritis (de­konstruksi) terhadap tradisi (turats) Islam zaman Nabi Muhammad hingga dinasti Andalusia.

Wacana postradisionalisme lebih banyak di­promosikan orang-orang NU. Kemunculannya di Indonesia, menurut Rumadi, seiring dengan ngetren-nya wacana Islam liberal. Terkesan ke­munculan postradisionalisme adalah unjuk identitas bagi sebagian orang NU. Kesan itu juga muncul dalam seminar ketika sebagian pembicara menjadi pembela kubu masing­masing. Namun, jarak itu melebur setelah Ahmad Sahal dan Saiful Mujani menyatakan bahwa secara substansi antara Islam liberal dan postradisionalisme sama. Misalnya, menyang­kut ide tentang negara demokrasi.

Yang berseberangan sebetulnya Islam literal, kata Ahmad Sahal. Islam literal adalah sebutan lain untuk kaum fundamentalis atau kalangan Islam garis keras. Kalangan yang menurut Abdul Mun'im D.Z., pembicara dari LP3ES, memperjuangkan penerapan hukum Islam yang ketat dan menuntut penciptaan masyara­kat muslim yang eksklusif. Berbeda dengan agenda Islam liberal, yang ingin menciptakan masyarakat multikultur. "Gagasan Islam libe­ral dan postradisionalisme secara nyata akan berhadapan dengan gerakan Islam garis keras," kata Mun'im.

Kelik M. Nugroho

TEMPO, 25 NOVEMBER 2001 HAL 96

Memahami Alquran sebagai Sebuah Puisi

MENILIK gaya bahasa dan iramanya, tidak bisa diingkari Alquran adalah puisi. Dan ketinggian bahasa sastranya melebihi puisi-puisi yang diciptakan oleh para pujangga Arab kala itu. Bahkan Alquran mampu memberikan nuansa tersendiri yang menyentuh kepada pembaca dan pendengarnyayang tidak mengerti artinya sekali punketika ia dibaca sesuai dengan aturan bacaan yang benar (tajwid-nya).

Seperti beberapa nabi lain yang diutus Tuhan dengan keistimewaan berupa mukjizat, yang salah satu hikmahnya untuk menandingi kecongkakan kaum-kaum yang merasa hebat dengan apa yang ada pada mereka, Nabi Muhammad diutus dan diberikan mukjizat pula untuk itu.

Misalnya Nabi Musa diberi mukjizat berupa tongkat sebagai tandingan kepada tukang-tukang sihir, karena tongkat Nabi Musa bisa berubah menjadi ular yang lebih besar dan menelan semua ular yang diciptakan oleh tukang-tukang sihir tadi. Nabi Isa diberi mukjizat dapat menyembuhkan orang buta bawaan, lepra dan bahkan menghidupkan orang mati di tengah masyarakat yang mempunyai pengetahuan dan keahlian medik yang tinggi.

Karena Nabi Muhammad diutus di tengah masyarakat yang mempunyai tradisi kesusastraan yang tinggi, ia diberi mukjizat berupa kitab yang mempunyai kandungan pesan dan nilai sastra yang sangat tinggi karena keindahan susunan bahasanya yang luar biasa.

Dan karena ketinggian itu, Alquran sendiri mengatakan bahwa tidak ada dan tidak akan pernah ada yang mampu membuat dan menandingi ketinggian mutu Alquran dari segala aspek, termasuk di dalamnya nilai sastranya tadi.

Akan tetapi sebagian besar umat Islam salah paham terhadap persoalan ini dan menolak kenyataan bahwa Alquran adalah puisi, hanya karena ada ayat Alquran yang mengatakan, "Dan Alquran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan seorang tukang tenung. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya." (Al Haaqqah: 41-42).

Ayat ini sebenarnya adalah counter terhadap tuduhan dan ejekan orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran yang dibawa Alquran dan mengatakan, "Dia adalah penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaannya" (At Thuur: 30), "Wahai orang yang diturunkan Alquran kepadanya, sesungguhnya kamu adalah orang yang majnun." (Al Hijr: 6), dan" Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair majnun ini?" (As Shaaffaat: 36).

Kesalahpahaman yang dimaksudkan terjadi karena kesalahan dalam memahami arti majnun dalam dua ayat yang disebut terakhir yang biasanya diartikan "gila". Akibatnya terjadi kesalahan dalam memahami ayat dalam Surat AI Haaqqah: 41 di atas.

Harus Diyakini

Memang benar dan ini yang harus diyakini, Alquran bukan tenung sesuai dengan pernyataan Alquran sendiri bahwa ia "bukan perkataan seorang tukang tenung". Akan tetapi, berdasarkan fakta empirik dari susunan bahasa Alquran, adalah tidak benar kalau dikatakan kitab tersebut bukan puisi (syi'r) dengan berdasar pada pernyataan Alquran bahwa, "Alquran bukanlah perkataan seorang penyair."

Jadi, singkatnya Alquran adalah puisi tetapi ia bukanlah perkataan yang keluar dari mulut penyair. Ini bukan pula berarti Alquran bukan perkataan Nabi Muhammad SAW.

Kesulitan untuk memahami kenyataan ini akan hilang apabila melihat latar belakang sosiohistoris sebelum sampai pada saat Alquran diturunkan. Pada saat itu masyarakat Arab jahiliyah memandang syair sebagai segala-galanya.

Karena itu kedudukan penyair dalam masyarakat Arab begitu tinggi karena dia dianggap sebagai kekayaan dan kekuatan suku. Dan karena dianggap mempunyai kekuatan lebih, seorang penyair dijadikan sebagai pemimpin suku pada masa damai maupun masa perang. Ucapan-ucapannya dipercayai mempunyai kekuatan melebihi serdadu dengan senjata dan tombak karena mempunyai kekuatan magis yang dapat mengalahkan musuh.

Bahkan lebih dari itu, ketika seorang penyair dari suku tertentu diserang dengan menggunakan syair oleh penyair dari suku yang lain, maka ia harus membalasnya. Kalau itu tidak dilakukan, tidak hanya dia yang dianggap kalah, akan tetapi sukunya pun ikut merasa dan dianggap kalah dan terhinakan.

Mereka berkepercayaan bahwa para penyair dan juga tukang tenung adalah tipe orang-orang yang setiap saat dapat dimasuki kekuatan supranatural yang tak terlihat yang memberikan inspirasi kepada mereka. Kekuatan supranatural ini biasa disebut dengan jin. Jadi, syi'ir yang dibuat oleh para penyair pada waktu itu adalah hasil komunikasi dengan kekuatan supranatural itu, yang diyakini mereka melayang-layang di udara. Demikian juga kata-kata yang keluar dari tukang tenung yang dipercaya sebagai orang yang bisa meramal, adalah juga kata-kata yang berasal dari jin yang memberikan informasi kepadanya.

Bukan Kata Penyair

Masih menurut pandangan mereka, jin tidak merasuk kepada sembarang orang, tetapi memilih orang-orang tertentu yang disukainya. Apabila orang yang disukai itu ditemukan, jin tersebut merasuk ke dalam diri orang tersebut dan menjadikan orang tersebut sebagai penyambung lidahnya. Orang seperti inilah yang dimaksud dengan "penyair" dalam pengertian semantik yang paling awal, yakni orang yang mempunyai pengetahuan supranatural. Kata sya'ir sendiri yang berasal dari kata sya' ara atau sya'ura artinya adalah memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang tidak diketahui oleh orang kebanyakan.

Dalam pandangan masyarakat Arab Pagan, setiap penyair mempunyai jin sendiri-sendiri dan dianggap sebagai teman akrab. Makanya, ketika seorang penyair tidak mampu mengucapkan syi'ir balasan ketika mendapat serangan dari penyair lain, ia akan mengatakan bahwa yang menyebabkannya tidak mampu bukanlah kebodohannya, akan tetapi karena "teman akrab"nya tidak mengucapkan kata-kata kepadanya.

Jadi, yang dimaksud dengan majnun sebagaiman dituduhkan oleh penentang-penentang Nabi Muhammad SAW adalah "kerasukan jin"atau kesurupan", bukan "gila" seperti yang dipahami oleh sebagian besar umat Islam, termasuk juga para ulama dan mufasirnya. Walaupun berdasarkan fakta Nabi Muhammad SAW memang bukanlah seorang yang gila, akan tetapi maksud alquran bukan itu, karena lepas dari konteks yang sebenarnya. Terjemahan Alquran oleh Departemen Agama RI, dalam hal ini, nampaknya cukup layak ditinjau kembali karena masih mengartikan majnun dalam beberapa ayat dengan"gila".

Dalam hal ini, kesa1ahan penentang-penentang Nabi Muhammad kala itu, minimal ada dua. Pertama, mereka tidak mampu membedakan alias menyamakan antara Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Tinggi dengan jin, padahal jin adalah makhluk ciptaan-Nya. Kesalahan kedua adalah konsekuensi dari kesalahan pertama, yakni mereka menyamakan antara utusan Tuhan (rasul) yang mendapatkan inspirasi dari Tuhan dan penyair-penyair kebanyakan yang mendapatkan inspirasi dari jin.

Kerangka pikir seperti inilah yang dapat mengantarkan pada pemahaman bahwa tidak ada masalah jika Alquran dikatakan sebagai (berirama) puisi (syair yang dikembangkan dan diperhalus ke dalam bentuk seni), karena kenyataannya memang demikian. Akan tetapi yang penting dan harus dicatat bahwa Alquran bukan kata-kata seorang penyair yang dirasuki jin seperti konsepsi masyarakat Arab Pagan.(33)

—Mohammad Nasih, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Direktur Freedom College Semarang.

Sumber: SUARA MERDEKA, 22 November 2002 Hal: VI-VII

Jumat, 21 Januari 2011

Mengatasi bau Mulut

cara tradisional yang dapat digunakan untuk mengatasi bau mulut yaitu:
  • 10 gram adas + 7 lembar daun sirih segar + 15 gram kencur kering (dipotong-potong) + 1 buah pinang kering direbus dengan air 1 liter hingga tersisa 1/2 liter kemudian disaring dan airnya diminum. Lakukan secara teratur.
  • Teh hijau secukupnya diseduh dengan air secukupnya lalu gunakan untuk kumur-kumur. Lakukan secarateratur

Galeri Canda

  • Ma Lima : Makan Mie Ayam Mangkuknya Masuk Mulut
  • Nama paling panjang sejagad : Bandung Bondowoso (Pendiri Candi Prambanan)

ANEKDOT

  • Ma Lima : Makan Mie Ayam Mangkuknya Masuk Mulut
  • Nama paling panjang sejagad : Bandung Bondowoso (

STRATEGI SUKSES

  • Hargai pribadi orang lain
  • Rapi dan bersih
  • Jaga rahasia / jangan suka menggosip
  • Jangan memotong pembicaraan orang lain
  • Tak usah membanggakan diri sendiri
  • Jangan abaikan ucapan terima kasih
  • Tepat waktu
  • Bicara seperlunya
  • Tahan keinginan yang tak bermanfaat

JIKA INGIN BEBAS DARI GORO-GORO

KKN, saling hujat, kekerasan, uang palsu, protes konsumen, narkoba, pengangguran, harga naik, bencana alam, peraturan zalim, dan sebagainya setiap hari mengisi media informasi.
Nenek moyang kita memberi banyak nasehat, antara lain: Sastra Jendra Hayu Ningrat (ilmu rahasia kuasa raja). Itu diajarkan Begawan Wisrawa kepada Sukesi, lalu melahirkan Dasamuka(sepuluh nafsu) dan saudara-saudaranya. Diajarkan kepada Gendari kepada Destarastra, maka lahirlah Kurawa (seribu benih jahat). Diajarkan kepada Ken Arok dengan tumbal tujuh nyawa. Diajarkan kepada Ki Pemanahan dengan syarat harus minum air "kelapa muda" sampai tetes penghabisan.
Pada zaman ini Sastra Jendra dibisikkan ke dalam dada manusia yang merasa pintar dan ingin seperti raja diraja.
Jika ingin bebas dari goro-goro (man and nature in disorder), segeralah pelajari kitab suci masing-masing dan kenakan sabuk lebu lir majenun. Jangan menunggu Sabdo Palon tiwikrama (kebenaran mikrokosmos menelan makrokosmos). Insya Allah ini cara yang baik.

Kamis, 20 Januari 2011

Wow, Ilmuwan Berhasil Ciptakan Nyawa Tiruan




















Benar-benar dahsyat temuan ilmuan ini. Bagaimana tidak, tidak main-main, mereka berhasil menciptakan nyawa tiruan. Apakah mereka mau menyaingi Tuhan?


Terobosan baru ilmiah dilakukan ahli biologi berkewarganegaraan Amerika Serikat. Craig Venter berhasil menciptakan ‘kehidupan tiruan’ untuk kali pertama di laboratoriumnya. Sang ilmuwan tersebut, menyangkal bahwa dirinya mempermainkan Tuhan dengan karyanya itu.

Penciptaan sel sintetik yang digambarkan sebagai sebuah tonggak bersejarah dalam ilmu pengetahuan oleh seorang ahli asal Inggris itu, merupakan mimpi yang menjadi kenyataan dari penelitian yang berlangsung selama 15 tahun oleh ahli rekayasa genetik, Dr Ventern.

Dia mengembuskan nyawa ke tubuh bakteri menggunakan gen yang disatukan melalui proses di laboratorium dalam sebuah konsep pengembangan, dengan tujuan utama untuk membuat organisme material genetik.

Termasuk di dalamnya, pembuatan organisme tiruan yang didesain untuk tugas-tugas khusus seperti membuat vaksin atau membersihkan polusi.












Tapi beberapa ahli melihat adanya potensi bahaya dalam temuan tersebut. Misalnya, nyawa sintetik bisa disalahgunakan untuk membuat senjata biologis.

Berbicara dalam program BBC2 Newsnight di Washington, Venter membantah tuduhan dirinya telah mempermainkan Tuhan. “Tuduhan itu selalu muncul setiap kali muncul terobosan baru di dunia medis atau ilmu pengetahuan yang terkait dengan biologi. Penelitian ini mempunyai tujuan kemanusiaan untuk mengontrol sifat alam. Itu sama seperti bagaimana kita menjinakkan hewan,” katanya.

“Ini adalah tingkat lebih tinggi dari pemahaman kita. Ini adalah tahap dimana kita bisa mulai memahami bagaimana kehidupan itu bekerja dan mungkin juga bagaimana kita bisa mengontrol sistem mikrobiologi untuk kepentingan kemanusiaan,” tambahnya.

















Saat ditanya, teknik baru tersebut bisa dibeli oleh pemilik modal besar, Venter menjawab, teknologi tidak untuk diperjualbelikan. “Kami berupaya mengembangkan teknologi ini untuk memajukan bidang perlindungan vaksin. Kami akan menggunakannya untuk mengembangkan pemahaman dasar dari kehidupan sel,” jelasnya.

Venter juga menyangkal kekhawatiran sejumlah pihak bahwa teknologi itu akan digunakan sebagai bio terorisme. “Sebagian orang sepakat bahwa ada potensi yang berkembang, bahwa teknologi bisa digunakan untuk kekerasan. Tapi ada juga yang meyakini jika pengembangan ini sangat berpotensi untuk membantu kehidupan manusia,” paparnya.

Bahan: Dari Berbagai Sumber